Beranda Sindikasi Pesantren dan Sendiko Dawuh: Antara Hormat, Ilmu dan Kemandirian

Pesantren dan Sendiko Dawuh: Antara Hormat, Ilmu dan Kemandirian

Kajian Pesantren dan Sendiko Dawuh: Antara Hormat, Ilmu dan Kemandirian Pesantren dan Sendiko Dawuh: Antara Hormat, Ilmu dan Kemandirian

Mengupas Arti Kata “Sendiko Dawuh” terhadap Perintah Kiai serta Pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang mengajarkan feodalisme, melainkan menanamkan adab dan spiritualitas

Dalam tradisi pesantren yang kental dengan nilai-nilai keislaman dan budaya Jawa, ungkapan “sendiko dawuh” bukanlah kalimat sembarangan. Ia adalah simbol ketaatan, kerendahan hati, dan penghormatan seorang murid kepada gurunya, khususnya antara santri kepada kiai. Ungkapan ini memiliki makna mendalam yang melampaui arti harfiahnya: “saya patuh terhadap perintah.”

Di lingkungan pesantren, kiai bukan hanya dianggap sebagai pengajar ilmu, tetapi juga sebagai pembimbing ruhani, orang tua spiritual, dan panutan moral. Dawuh (perintah) dari seorang kiai dipercaya membawa keberkahan, karena diyakini bahwa beliau-beliau merupakan pewaris para nabi (waratsatul anbiya). Oleh sebab itu, respon “sendiko dawuh” yang diucapkan santri tidak hanya mencerminkan ketaatan lahiriah, tetapi juga penerimaan batiniah atas setiap petunjuk dan arahan.

Lebih jauh, sendiko dawuh merupakan bentuk nyata dari adab dalam proses menuntut ilmu. Para ulama terdahulu bahkan menegaskan bahwa adab lebih utama daripada ilmu itu sendiri. Dalam konteks ini, adab bukan hanya tentang sopan santun, tetapi juga mencakup kesediaan menerima arahan dengan lapang dada, tanpa perasaan lebih tahu atau membantah. Maka ketika seorang santri menyatakan sendiko dawuh, itu artinya ia telah menempatkan diri dalam posisi tawadhu’, menyerahkan ego demi mendapatkan hikmah dari sang guru.

Namun demikian, dalam realitas kehidupan modern yang serba rasional dan kritis, penting untuk menempatkan sendiko dawuh dalam proporsi yang tepat. Ketaatan bukan berarti tunduk secara membabi buta. Santri tetap harus berpikir jernih dan memahami tujuan dari setiap dawuh yang disampaikan, selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Dengan begitu, kepatuhan yang diberikan menjadi bentuk ketaatan yang matang—bukan karena takut, tetapi karena cinta, hormat, dan kesadaran spiritual.

Esai ini ingin menekankan bahwa sendiko dawuh adalah warisan luhur yang memperkaya hubungan guru dan murid dalam pendidikan Islam. Ia bukan sekadar budaya, melainkan bagian dari pembentukan karakter, akhlak, dan fondasi spiritual yang dalam. Di tengah arus zaman yang mulai memudarkan nilai-nilai penghormatan terhadap guru, sendiko dawuh tetap layak dipertahankan sebagai simbol adab yang tak lekang oleh waktu.

Pesantren Bukan Lembaga Feodal, Tapi Madrasah Adab dan Keikhlasan

Dalam diskursus modern tentang pendidikan dan kebebasan berpikir, tak jarang muncul pandangan miring terhadap lembaga pesantren. Beberapa kalangan menuduh bahwa pesantren melestarikan budaya feodal, menciptakan hubungan “tuan dan abdi” antara kiai dan santri, serta membungkam daya kritis demi ketaatan buta. Tuduhan ini tentu perlu diluruskan, karena sejatinya pesantren bukanlah tempat menanamkan feodalisme, tetapi lembaga pendidikan ruhani yang menanamkan adab, kedisiplinan, dan keikhlasan.

Memang, dalam pesantren, kita akan menjumpai pemandangan yang tidak biasa bagi dunia luar: santri mencium tangan kiai, mematuhi dawuh tanpa banyak debat, bahkan rela membersihkan halaman pondok sebagai bentuk khidmah. Namun, apakah semua itu bukti feodalisme? Tidak. Sebaliknya, semua itu adalah manifestasi dari nilai ta’dhim (penghormatan) dan tawadhu’ (kerendahan hati) yang diajarkan sejak dini dalam Islam. Bukan karena kiai merasa superior, dan bukan pula santri merasa inferior, tetapi karena keduanya terikat dalam ikatan ilmu dan keberkahan yang tidak bisa dijelaskan secara materialistis.

Feodalisme adalah sistem kekuasaan yang mengedepankan hierarki kaku, warisan kekuasaan, dan penindasan terhadap kelas bawah. Sementara dalam pesantren, kiai tidak memaksakan kehendaknya dengan otoritas kekuasaan, melainkan memimpin dengan keteladanan, keikhlasan, dan kesabaran. Santri menghormati bukan karena takut, melainkan karena cinta dan rasa percaya. Maka hubungan kiai dan santri lebih menyerupai hubungan spiritual dan keilmuan, bukan relasi kekuasaan.

Lebih jauh, nilai-nilai yang diajarkan di pesantren justru menguatkan semangat pembebasan diri dari hawa nafsu, ego, dan kesombongan intelektual. Santri dibimbing untuk tidak hanya cerdas secara nalar, tetapi juga halus dalam perasaan, kuat dalam batin, dan lapang dalam bersikap. Kebebasan berpikir tetap tumbuh di pesantren, tetapi dibingkai oleh adab dan tanggung jawab. Tidak semua perbedaan harus disuarakan dengan keras. Ada saatnya diam adalah bentuk kebijaksanaan.

Dengan demikian, sangat keliru jika menyamakan budaya sendiko dawuh, hormat kepada kiai, atau khidmah sebagai praktik feodalisme. Justru di tengah dunia yang makin permisif dan kehilangan arah, pesantren hadir sebagai oase moral yang menjaga nilai-nilai luhur yang mulai langka: menghormati guru, melatih kesabaran, dan menanamkan keikhlasan.

Sekali lagi, Pesantren bukan benteng kekuasaan tetapi taman ilmu dan adab. Bukan tempat menindas, tetapi tempat membebaskan—dari kebodohan, dari ego, dan dari kehidupan tanpa makna. ***

A’isy Hanif Firdaus, S.Ag. (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim Semarang)

The post Pesantren dan Sendiko Dawuh: Antara Hormat, Ilmu dan Kemandirian first appeared on aswajanews.