BANDUNG (Aswajanews.id) – Sidang perkara Nomor: 777/Pid.Sus/2025/PN Blb yang menjerat oknum kepala sekolah di Ciparay, Kabupaten Bandung, kini menjadi sorotan nasional. Publik menanti dengan harap dan cemas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang akan dibacakan Kamis (23/10/2025).
Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Ridhalillah, S.H. menuntut terdakwa MUHAMMAD SYA’DUDIN Bin H. ENGKOM KOMARUDIN (Alm) hanya tiga bulan penjara dengan biaya perkara Rp 2.000,-.
Padahal, jaksa dalam surat tuntutannya menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan kekerasan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1) Jo. Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Ancaman maksimal untuk pasal Pasal 80 ayat (1) tersebut mencapai 3 tahun 6 bulan, bahkan dapat diperberat sepertiga karena pelaku adalah kepala sekolah tempat anak korban menimba ilmu sesuai pasal Pasal 80 ayat (4).
Tuntutan Ringan, Luka yang Dalam
Usai sidang tuntutan, suasana di luar pengadilan berubah menjadi pilu. Ny. Ida Yanti, ibu korban, meneteskan air mata di pelataran gedung Pengadilan Negeri Bale Bandung.
“Anak saya trauma. Ia menjerit di malam hari, tak mau sekolah lagi. Tapi pelaku cuma dituntut tiga bulan? Itu bukan keadilan,” katanya dengan suara bergetar.
Warga Ciparay yang hadir menilai tuntutan tersebut mencederai kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
“Kalau kepala sekolah bisa menampar murid dan tetap dianggap ringan, apa jadinya bangsa ini?” ujar Sopian, tokoh masyarakat setempat.
Suara Tegas dari Praktisi Hukum
Menanggapi tuntutan jaksa dan menjelang putusan hakim, praktisi hukum Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M. angkat bicara. Kepada wartawan, Bernard menyampaikan kritik keras dan peringatan moral bagi dunia peradilan:
“Jangan pengadilan justru menciptakan ketidakadilan. Membiarkan yang jahat terhadap anak melenggang bebas, atau hanya dihukum tiga bulan plus denda dua ribu rupiah, sama saja dengan menertawakan penderitaan korban.”
Bernard menegaskan, hakim memiliki tanggung jawab moral di atas teks hukum.
“Hakim tidak boleh menjadi sekadar corong undang-undang. Ia harus menjadi corong keadilan. Kalau hukum dipakai tanpa hati nurani, maka palu hakim bisa berubah menjadi palu yang memukul rasa keadilan rakyat,” ujarnya.
Putusan yang Akan Menguji Nurani Hakim
Sidang pembacaan putusan pada Kamis, 23 Oktober 2025diyakini akan menjadi ujian besar bagi majelis hakim. Publik ingin melihat apakah pengadilan mampu mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum.
“Kami masih percaya ada hakim yang berhati nurani. Jangan biarkan anak-anak menjadi korban dua kali, oleh pelaku, dan oleh sistem,” ujar Ida Yanti penuh harap.
Aktivis perlindungan anak menegaskan, putusan ini akan menjadi cermin wajah peradilan Indonesia.
“Kalau hakim hanya mengikuti tuntutan jaksa, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum,” ujarnya.
Ciparay Tidak Butuh Belas Kasihan
Kasus ini bukan sekadar perkara pidana, melainkan pertarungan antara hati nurani dan keberanian moral.
Ciparay tidak butuh belas kasihan, Ciparay menuntut keadilan.
Dan pada Kamis, 23 Oktober 2025, bangsa ini akan tahu, apakah hukum di Bale Bandung masih punya hati, atau apakah Majelis Hakim yang memutus perkara ini tinggal palu tanpa nurani. ***