Upaya memecah belah umat Islam hari ini tidak lagi berwujud pertikaian terbuka, melainkan hadir dalam bentuk yang jauh lebih halus: narasi digital yang dikemas rapi, penuh dalih, dan menggugah emosi. Framing, potongan video, hingga opini yang tampak ilmiah sering kali menjadi senjata paling efektif untuk menggerus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga Islam, terutama Nahdlatul Ulama dan pesantren.
Di tengah situasi ini, literasi digital menjadi benteng baru bagi umat. NU dan pesantren perlu memperluas medan perjuangannya bukan hanya di ruang pengajian dan majelis taklim, tetapi juga di ruang maya yang kini menjadi arena pembentukan opini publik. Santri dan masyarakat pesantren harus hadir sebagai penjaga narasi kebenaran, bukan sekadar penikmat atau korban dari arus informasi yang menyesatkan.
Langkah pertama adalah membiasakan tabayyun. Setiap informasi, seberapa pun menarik atau memprovokatifnya, harus diuji sumber dan kebenarannya. Tradisi ilmiah dan adab berdiskusi yang telah lama hidup di pesantren perlu diterjemahkan ke dalam perilaku digital: sabar, tenang, dan berimbang. Di sinilah nilai adab sebelum ilmu menemukan relevansinya di zaman serba cepat bahwa kebijaksanaan selalu lebih berharga daripada sekadar kecepatan bereaksi.
Kedua, pesantren harus membangun ekosistem literasi digital yang kokoh dan berkelanjutan. Santri tidak cukup hanya fasih membaca kitab, tetapi juga harus cerdas membaca tanda-tanda zaman. Dunia maya hari ini adalah “kitab baru” yang juga perlu ditafsir dengan kecerdasan dan kedewasaan. Dengan kemampuan itu, santri dapat menangkis narasi destruktif dan menggantinya dengan wacana yang mencerahkan, berlandaskan ilmu dan akhlak.
Lebih jauh, umat Islam perlu menyadari bahwa perang informasi bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal ideologi dan kepercayaan. Ketika narasi keislaman dipelintir untuk kepentingan politik atau kekuasaan, di situlah tugas moral para intelektual Muslim dan warga pesantren untuk meluruskannya dengan argumen, bukan dengan amarah.
Pada akhirnya, menjaga persatuan umat adalah bagian dari jihad di era informasi. Umat Islam perlu memahami bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada seberapa keras kita berdebat, tetapi pada seberapa dalam kita memahami dan menjaga satu sama lain. Persatuan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kedewasaan dalam menghargai perbedaan.
Selama prinsip wasathiyah dan ukhuwah Islamiyah terus dijaga, setiap upaya memecah belah hanya akan kandas di hadapan umat yang melek informasi, teguh dalam iman, dan dewasa dalam berpikir. Inilah wajah Islam yang sejati: kuat dalam ilmu, santun dalam sikap, dan kokoh dalam persaudaraan.
Kini saatnya pesantren dan santri meneguhkan kembali peran strategisnya sebagai benteng peradaban bukan sekadar pelestari tradisi, tetapi juga pelaku utama dalam membangun kesadaran umat di dunia digital. Dari bilik pesantren, dari ruang-ruang sunyi yang penuh doa, lahirlah generasi baru yang tidak hanya pandai membaca teks, tetapi juga mampu membaca zaman.
Karena di era ketika kebenaran bisa dimanipulasi dan opini diperdagangkan, suara jernih dari pesantren menjadi lentera yang menuntun umat kembali pada akal sehat, kasih sayang, dan persaudaraan. Dan selama lentera itu menyala, umat Islam tak akan pernah kehilangan arah. ***