Beranda Sindikasi Menggagas Etika Politik Gus Dur: Menjawab Krisis Moral dalam Wajah Politik Indonesia

Menggagas Etika Politik Gus Dur: Menjawab Krisis Moral dalam Wajah Politik Indonesia

Wajah politik Indonesia hari ini masih dipenuhi beragam fenomena negatif. Konflik agraria yang kian kronis, penyalahgunaan kekuasaan, gaya hidup mewah para aktor politik, regulasi yang lebih berpihak pada oligarki, hingga korupsi yang tetap subur menjadi potret buram yang sulit dibantah. Meski tidak semua aparatur pemerintahan terlibat dalam praktik keliru, dampak sistemik dari penyimpangan tersebut jelas merugikan masyarakat, terutama kalangan bawah.

Dari kacamata filsafat, akar persoalan ini sesungguhnya terletak pada kemiskinan etika dalam penyelenggaraan negara. Kebijakan yang sejatinya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, justru kerap bergeser menjadi sarana pemenuhan kepentingan kelompok tertentu. Hal ini disebabkan oleh rapuhnya standar moralitas dalam praktik bernegara. Oleh karena itu, eksistensi etika politik perlu terus digaungkan, dikaji, dan diimplementasikan secara nyata.

Salah satu tokoh yang menaruh perhatian besar terhadap pentingnya etika politik adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Meski lahir dari konteks sosio-politik tertentu, pemikiran Gus Dur tetap relevan hingga kini. Problematika politik pada masanya, seperti penyalahgunaan kekuasaan dan lemahnya partisipasi publik, masih sejalan dengan fenomena kontemporer. Kasus bentrokan aparat dengan warga sipil di Rempang, misalnya, menunjukkan bahwa praktik politik hari ini masih jauh dari etika yang seharusnya.

Prinsip Etika Politik Gus Dur

Secara filosofis, etika merupakan cabang filsafat praktis yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap realitas. Dalam konteks politik, etika menyoroti bagaimana kekuasaan diperoleh dan digunakan berdasarkan nilai moral. Pemikiran Gus Dur tentang etika politik dapat dirumuskan dalam tiga prinsip utama:

1). Keadilan untuk Kesejahteraan Bersama

Gus Dur menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi utama dalam kehidupan bernegara. Ajaran Islam, yang menjadi inspirasi pemikirannya, berulang kali memerintahkan umat manusia untuk berlaku adil. Menurut Gus Dur, keadilan bukan hanya urusan individual, tetapi juga tanggung jawab kolektif yang harus diwujudkan melalui kebijakan publik. Jika keadilan ditegakkan dalam politik, maka sektor-sektor kehidupan lain akan turut sehat.

2). Amanah sebagai Tanggung Jawab Kepemimpinan

Dalam pandangan Gus Dur, kepemimpinan adalah amanah dari Tuhan sekaligus rakyat. Pemimpin sejatinya adalah wakil Tuhan di bumi dan pengemban aspirasi masyarakat. Mengabaikan amanah berarti melakukan pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Oleh sebab itu, sikap amanah harus menjadi standar moral yang melekat pada setiap pejabat publik.

3). Lemah Lembut dan Anti-Kekerasan

Gus Dur menentang keras segala bentuk kekerasan dalam politik. Ia lebih memilih pendekatan dialog, persuasif, dan penuh kelembutan. Dalam menghadapi isu terorisme, misalnya, Gus Dur tidak menekankan pendekatan represif, melainkan mengedepankan dialog lintas budaya dan agama untuk meluruskan kesalahpahaman. Prinsip antikekerasan ini sekaligus menegaskan sisi humanis dalam kepemimpinan yang ia jalankan.

Internalisasi Nilai Etika Politik Gus Dur

Menurut Gus Dur, internalisasi nilai etika politik harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan berfungsi menyiapkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual. Dalam hal ini, pesantren menjadi salah satu agen perubahan yang strategis.

Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mentransmisikan nilai-nilai keadilan, amanah, kelembutan, dan toleransi yang berakar dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Tradisi pesantren yang dinamis, berlandaskan moralitas dan akhlak, melahirkan kader bangsa yang mampu menjadi pelopor pembangunan dengan semangat egalitarianisme.

Pemikiran dan praktik politik Gus Dur adalah bukti nyata bagaimana nilai keislaman dapat dijalankan dalam bingkai etika politik. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut melalui jalur pendidikan, khususnya pesantren, wajah politik Indonesia yang penuh dengan fenomena negatif dapat diarahkan menuju tatanan yang lebih etis, adil, dan berkeadaban.

Penutup

Fenomena politik Indonesia saat ini menunjukkan betapa mendesaknya etika dalam praktik bernegara. Korupsi, oligarki, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah gejala dari hilangnya moralitas dalam politik. Pemikiran Gus Dur memberikan tawaran solusi berupa prinsip keadilan, amanah, dan antikekerasan yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk dihidupkan kembali.

Dengan menginternalisasi etika politik Gus Dur melalui pendidikan, khususnya pesantren, bangsa Indonesia memiliki peluang untuk membangun tradisi politik yang berlandaskan nilai moral dan spiritual. Hanya dengan demikian, wajah politik kita bisa terbebas dari krisis etika dan kembali berpihak pada rakyat.

Sumber.

Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Aidost. (2009). Pengantar Filsafat. Bandung: Pustaka Setia.

Jurnal:

Khasanah, F. (2019). Etika Politik Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Filsafat Moral. Jurnal Pemikiran Islam, 12(2), 145–160.
Khasanah, F. (2018). Etika Gus Dur: Religius-Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasanah, U. (2023). Internalisasi Nilai Etika Politik Gus Dur dalam Pendidikan Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam, 15(1), 34–50.