Pilkades atau Pemilihan Kepala Desa bukan sekadar pesta demokrasi di tingkat lokal, tetapi juga cerminan wajah politik kebangsaan dalam skala kecil. Dalam dinamika ini, santri menempati posisi strategis. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi bisa tampil sebagai aktor penting yang memberi warna pada politik desa.
Santri dan Basis Sosial Desa
Kedekatan santri dengan masyarakat desa sudah terbangun sejak lama. Tradisi belajar di pesantren membuat mereka terbiasa hidup sederhana, membaur dengan warga, serta menanamkan nilai keikhlasan dan pengabdian. Modal sosial inilah yang menjadikan santri mudah diterima sebagai figur yang dipercaya masyarakat.
Santri sebagai Calon Pemimpin
Ketika maju dalam pilkades, masyarakat kerap menaruh harapan besar kepada santri. Mereka dipandang bukan sekadar sosok religius, melainkan calon pemimpin yang diharapkan membawa nilai keadilan, kejujuran, dan kearifan lokal. Dengan latar keagamaan yang kuat, santri diyakini mampu menyeimbangkan pembangunan fisik dengan pembangunan moral dan spiritual masyarakat desa.
Tantangan Politik bagi Santri
Namun, jalan menuju kursi kepala desa tidak selalu mudah. Santri sering berhadapan dengan praktik politik uang, polarisasi sosial, hingga tekanan elit lokal. Situasi ini menjadi ujian integritas: apakah mereka mampu berpegang pada prinsip kejujuran, atau ikut terseret arus pragmatisme politik?
Kiprah Nyata Santri dalam Pilkades
Beberapa contoh menunjukkan peran signifikan santri dalam demokrasi desa:
-
Di Tegal dan Brebes, sejumlah kepala desa berlatar belakang pesantren berhasil menghadirkan tata kelola pemerintahan yang tidak hanya fokus pada infrastruktur, tetapi juga menghidupkan pendidikan dan kegiatan keagamaan.
-
Di Indramayu dan Cirebon, santri kerap menjadi penengah ketika terjadi polarisasi warga. Dengan jaringan kiai dan pesantren, mereka lebih mudah diterima lintas golongan, sehingga tensi politik bisa diredam.
-
Di banyak desa lain, santri yang tidak maju sebagai calon tetap hadir sebagai pendamping masyarakat. Mereka mendorong warga untuk memilih dengan hati nurani, bukan karena iming-iming materi. Kehadiran ini membantu menekan praktik politik uang dan menumbuhkan kesadaran berdemokrasi yang sehat.
Kontribusi untuk Demokrasi Desa
Lebih jauh, santri juga berperan sebagai pengawal moralitas politik. Kehadiran mereka memperkuat tradisi musyawarah, sehingga pilkades tidak semata ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga momentum mempererat persaudaraan. Dengan edukasi politik yang santun, santri ikut memastikan demokrasi desa berjalan lebih berkualitas.
Penutup
Menakar peran santri dalam kontestasi pilkades berarti mengakui potensi besar mereka dalam menjaga demokrasi tetap sehat di akar rumput. Dengan modal keilmuan, akhlak, dan kedekatan sosial, santri bukan hanya layak menjadi pemimpin, tetapi juga teladan yang menjaga marwah politik desa. Tantangan politik praktis harus dijawab dengan prinsip teguh, agar santri benar-benar hadir sebagai pencerah dalam demokrasi desa. ***