Dalam dinamika peradaban kontemporer, umat manusia dihadapkan pada dua arus besar: kemajuan teknologi yang semakin pesat dan kerusakan ekologis yang semakin nyata. Di satu sisi, teknologi membuka peluang untuk meningkatkan kualitas hidup dan i sisi lain, eksploitasi alam tanpa batas membuat bumi semakin rapuh. Di tengah tarik-menarik inilah ekoteologi Islam hadir bukan sekadar sebagai wacana keagamaan, tetapi sebagai paradigma penyelamat dari sebuah pendekatan yang menjembatani nilai spiritual, tanggung jawab ekologis, dan pemanfaatan teknologi secara berkeadaban.
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai “khalifah fil ardh” pemelihara, bukan perusak. Ekoteologi Islam berangkat dari kesadaran bahwa alam adalah amanah, bukan objek penaklukan. Ayat-ayat tentang langit, air, tumbuhan, dan keseimbangan kosmik bukan hanya gambaran keagungan ciptaan Allah SWT, tetapi juga peringatan agar manusia menjaga harmoni kelestarian. Ketika ekologi ditempatkan dalam kerangka tauhid, hubungan manusia dengan alam tidak sekadar utilitarian, melainkan ibadah: menjaga bumi berarti menyempurnakan syukur kepada Sang Pencipta.
Masa depan berkelanjutan tidak bisa lahir dari teknologi saja, dan tidak cukup dengan spiritualitas yang apolitis. Yang dibutuhkan adalah integrasi: iman yang melahirkan kesadaran ekologis, akal yang menghasilkan inovasi, dan aksi kolektif yang memperjuangkan keberlanjutan. Pesantren, kampus Islam, dan lembaga dakwah perlu memainkan peran strategis sebagai pusat pembelajaran ekoteologi modern mengemas fikih lingkungan, etika konsumsi, hingga teknologi ramah bumi dalam kurikulum kehidupan.
Masa depan umat Islam tidak boleh terlepas dari spirit rahmatan lil ‘alamin. Islam menolak peradaban yang maju secara industri tetapi gagal secara moral. Allah SWT menegaskan:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56).
Sebagai gambarannya begini jika manusia berbuat kekufuran atau kemaksiatan pada akhirnya kerusakan lingkungan secara besar akan terjadi di bumi. Sebaliknya, jika manusia beriman serta bertakwa, Allah akan menurunkan kebaikannya ke bumi.
Senada dengan Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (الأعراف : 96)
Artinya: “dan kalau saja para penduduk desa itu mau beriman dan bertakwa, niscaya akan kami limpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” ( QS. Al A’raf : 96)
Hal ini menunjukan bahwa kerusakan di bumi memang tidak semata berupa kerusakan lingkungan hidup saja, namun kerusakan moral hingga spiritual juga kerusakan yang memiliki dampak negatif yang cukup besar. Kebobrokan moral manusia seperti sifat egois dan cinta dunia yang berlebihan tentu membuat mereka tidak memperdulikan kelestarian lingkungan di sekitarnya. Hal inilah yang akhirnya menjadi sebab utama dari segala bentuk kerusakan di bumi.
Sejatinya Islam tidak datang untuk meninggalkan peradaban, tetapi untuk membimbingnya. Ketika ekoteologi bertemu teknologi dalam bingkai tauhid, umat Islam tidak hanya menjadi konsumen perubahan, tetapi produsen arah peradaban baru artinya peradaban yang menghormati bumi.
Sebagai Penutup yang ingin saya tegaskan bahwa transformasi menuju masa depan berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban moral dan spiritual. Di sinilah relevansi Islam semakin tampak bukan hanya agama ritual, tetapi jalan hidup yang merawat alam. Teknologi tidak perlu ditentang, tetapi ditundukkan kepada nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin. Saat ekoteologi Islam berjalan seiring inovasi digital, kita sedang menapaki peradaban yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab; tidak hanya maju, tetapi juga penuh rahmat. Dengan harapan kita juga turut andil menjaga Islam Rahmat lil alamin.
Integrasi antara Islam, ekoteologi, dan teknologi bukanlah utopia. Justru inilah bentuk kemajuan yang Qur’ani: memadukan iman, ilmu, dan maslahat. Ketika teknologi diarahkan oleh tauhid, inovasi menjadi ibadah; ketika ekologis disandarkan pada wahyu, keberlanjutan menjadi kesalehan. Islam tidak memusuhi masa depan Islam mengarahkan masa depan agar tetap bertuhan dan berkeadaban. Dari sinilah lahir peradaban yang bukan hanya “maju”, tetapi selamat, adil, dan berpihak pada kehidupan. Wallahu A’lam Bishowwab