Beranda Sindikasi Homo Homini Lupus: Ketika Empati Terkubur oleh Egoisme

Homo Homini Lupus: Ketika Empati Terkubur oleh Egoisme

Ungkapan Latin Homo Homini Lupus manusia adalah serigala bagi sesamanya masih menggema relevansinya hingga hari ini. Istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Plautus dan diperkuat oleh filsuf Thomas Hobbes ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa manusia dalam situasi tertentu bisa menjadi makhluk paling merugikan bagi manusia lainnya. Dalam konteks kehidupan sosial, politik, ekonomi, hingga ruang digital, frasa ini merefleksikan sisi gelap dari relasi antarmanusia.

Dalam dunia politik, kita menyaksikan betapa kekuasaan sering menjadi medan pertarungan tanpa etika. Intrik, fitnah, dan pengkhianatan menjadi alat yang sah untuk mencapai tujuan. Tak jarang, kepentingan rakyat dikhianati oleh para elit demi kepentingan pribadi atau kelompok. Korupsi merajalela, dan keadilan menjadi barang mahal yang sulit diakses oleh rakyat kecil. Kepercayaan publik tergerus oleh ulah segelintir oknum yang memangsa hak-hak masyarakat.

Fenomena manusia memangsa manusia juga tampak di media sosial. Alih-alih menjadi sarana silaturahmi dan kolaborasi, dunia digital kerap menjadi tempat subur bagi ujaran kebencian, perundungan, dan penyebaran hoaks. Netizen bisa dengan mudah menjatuhkan martabat seseorang hanya bermodal komentar dan tombol bagikan. Rasa empati terkikis oleh kebiasaan menghakimi tanpa fakta, dan manusia menjadi predator satu sama lain di balik layar.

Ketimpangan ekonomi global pun tak luput dari sorotan. Negara-negara kuat mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia dari negara berkembang demi mempertahankan dominasi dan kemakmuran mereka. Praktik perdagangan yang tidak adil, intervensi politik, dan sistem utang yang menjerat membuktikan bahwa serigala dalam wujud institusi juga nyata adanya. Dalam konteks ini, bukan hanya individu, tapi sistem pun dapat menjadi predator yang melanggengkan ketidakadilan.
Namun, apakah manusia pada dasarnya jahat? Tidak. Frasa ini tidak untuk menggeneralisasi sifat manusia, tetapi menjadi cermin untuk melihat betapa rapuhnya moralitas tanpa kontrol. Hobbes sendiri mengemukakan pentingnya kontrak sosial dan kekuasaan yang sah untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Tanpa hukum dan nilai etika, manusia bisa kembali ke kondisi primitif: saling memangsa.

Di sisi lain, sejarah juga mencatat berbagai bentuk kebaikan dan solidaritas manusia. Aksi kemanusiaan saat bencana alam, kerja sama global dalam penanganan pandemi, serta gerakan sosial untuk membela hak asasi manusia adalah bukti bahwa manusia juga mampu menjadi penyembuh, bukan hanya perusak. Dalam situasi krisis, muncul pula wajah-wajah penuh empati yang rela berkorban demi sesama.

Penulis disini mengajak bagaimana pentingnya bagi kita untuk tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga pelaku perubahan. Homo Homini Lupus tidak harus menjadi takdir. Melalui edukasi, kesadaran hukum, dan penguatan nilai kemanusiaan, manusia bisa keluar dari perangkap egoisme dan kembali pada fitrahnya sebagai makhluk sosial yang saling melindungi.

Mari jadikan ungkapan ini bukan sebagai vonis atas kodrat manusia, tetapi sebagai peringatan bahwa tanpa kendali etika, siapa pun bisa menjadi “serigala” bagi orang lain. Namun dengan kesadaran dan niat baik, manusia tetap bisa menjadi cahaya bagi sesama bukan kegelapan yang menakutkan. ***

Artikel Homo Homini Lupus: Ketika Empati Terkubur oleh Egoisme pertama kali tampil pada aswajanews.