Beranda Sindikasi DARI TA’DZIM MENUJU CINTA: Membedakan Penghormatan dan Feodalisme dalam Tradisi Pesantren

DARI TA’DZIM MENUJU CINTA: Membedakan Penghormatan dan Feodalisme dalam Tradisi Pesantren

Tradisi ta’dzim merupakan salah satu nilai tertinggi dalam pendidikan pesantren yang berakar pada adab dan cinta santri kepada gurunya. Namun sebagian masyarakat modern kerap menyalahartikan tradisi ini sebagai bentuk feodalisme yang dianggap mengekang kebebasan berpikir. Tulisan ini berupaya meluruskan pemahaman tersebut melalui pendekatan deskriptif-kualitatif berdasarkan kajian pustaka terhadap kitab-kitab klasik, seperti Ta‘lim al-Muta‘allim karya Az-Zarnuji dan Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, serta pandangan para pemikir pendidikan Islam modern.

Hasil kajian menunjukkan bahwa ta’dzim lahir dari cinta dan kesadaran spiritual, sedangkan feodalisme lahir dari ketakutan dan ketimpangan kekuasaan. Dengan demikian, ta’dzim adalah wujud adab yang menumbuhkan keberkahan ilmu dan keikhlasan, bukan bentuk perbudakan sosial.

Pesantren tidak hanya menjadi lembaga pengajaran, tetapi juga pembentukan nilai. Salah satu nilai yang menjadi ruh kehidupan santri adalah ta’dzim sebagai penghormatan kepada guru sebagai jalan memperoleh keberkahan ilmu. Dalam pandangan santri, guru (kiai) bukan sekadar pengajar, melainkan murabbi, pembimbing ruhani yang menuntun mereka menuju Allah.

Sementara itu, sebagian pihak yang tidak memahami kultur pesantren kerap memandang ta’dzim sebagai feodalisme relasi sosial yang menindas dan menghambat berpikir kritis. Padahal, keduanya memiliki dasar, tujuan, dan ruh yang sangat berbeda.

Landasan Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an menegaskan kemuliaan orang berilmu dan penghormatan terhadapnya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengenal hak orang alim di antara kami.” (HR. Ahmad)

Kedua landasan ini menunjukkan bahwa penghormatan kepada orang alim adalah bagian dari iman, bukan bentuk perendahan diri.

Ta’dzim dalam Perspektif Ulama Klasik

Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, Az-Zarnuji menyatakan: “Barang siapa tidak menghormati gurunya, maka ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya.”

Senada dengan itu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan:

“Adab terhadap guru adalah bagian dari adab terhadap Allah, sebab guru adalah perantara sampainya ilmu dari Allah.”

Bagi para ulama klasik, ta’dzim adalah adab spiritual yang berakar dari cinta (mahabbah), bukan paksaan atau ketakutan. Karena itu, penghormatan santri kepada kiai bukanlah penghambaan personal, melainkan penghormatan terhadap ilmu dan sumber keberkahan.

Feodalisme dalam Pandangan Sosial

Secara sosiologis, feodalisme adalah sistem yang menempatkan seseorang pada kedudukan superior karena kekuasaan atau keturunan. Max Weber mengkategorikan feodalisme sebagai bentuk dominasi tradisional yang menuntut loyalitas tanpa nalar kritis.

Dalam dunia pendidikan, feodalisme muncul ketika relasi antara guru dan murid didasarkan pada ketakutan, paksaan, atau kepentingan sosial, bukan pada cinta dan ilmu.

Islam secara tegas menolak pengkultusan berlebihan terhadap manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
“Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana orang Nasrani memuji Isa bin Maryam.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan batas penghormatan agar tidak berubah menjadi pengagungan yang melampaui batas.

Analisis: Dari Ta’dzim Menuju Cinta

Ta’dzim yang dipraktikkan di pesantren bukanlah ketundukan buta, melainkan cermin cinta, penghargaan, dan ketulusan terhadap pembawa ilmu. Sikap ini melahirkan keberkahan dan kedalaman ruhani.

Sebaliknya, feodalisme dilandasi oleh rasa takut dan pamrih; ia tidak membuahkan keberkahan, tetapi hanya menghasilkan ketimpangan relasi dan ketergantungan.

Kiai sejati tidak meminta pemujaan, tetapi menuntun murid agar mengikuti ilmunya. Santri sejati bukan hanya patuh, tetapi juga memahami dan mencintai gurunya dengan kesadaran dan adab.

Lalu bagaimana Relevansi dengan Pendidikan Islam Modern ?

Menurut Abuddin Nata (2018), pendidikan Islam idealnya memadukan adab, ilmu, dan kebebasan spiritual. Guru berperan sebagai teladan, bukan penguasa. Ramayulis (2012) juga menegaskan bahwa hubungan guru-murid dalam Islam bersifat rahmatan saling menumbuhkan, bukan menekan.

Dengan demikian, ta’dzim tetap relevan di era modern, selama dijaga ruhnya: cinta, kesadaran, dan keikhlasan.

Sebagai penutup berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ta’dzim dan feodalisme adalah dua hal yang berbeda secara prinsip. Ta’dzim lahir dari cinta dan kesadaran spiritual terhadap guru sebagai pembawa ilmu, sedangkan feodalisme bersumber dari relasi kuasa dan ketakutan.

Pesantren harus terus menjaga nilai ta’dzim agar tetap menjadi adab, bukan alat dominasi. Dengan demikian, pesantren akan tetap menjadi taman ilmu dan cinta tempat adab tumbuh, dan keberkahan hadir dalam setiap proses belajar. ***