Di tengah derasnya arus informasi digital, umat Islam kini dihadapkan pada gelombang besar propaganda dan adu domba yang dikemas rapi dalam berbagai narasi digital. Salah satu teori yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah teori segitiga menurun, sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana pengaruh sosial, ideologi, dan informasi dikendalikan dari atas ke bawah.
Teori ini memandang struktur masyarakat layaknya piramida. Di puncaknya terdapat kelompok kecil yang memiliki kekuasaan, modal, dan kendali atas media serta opini publik. Lapisan menengah diisi oleh tokoh berpengaruh, influencer, dan kalangan terdidik yang berperan sebagai corong penyebaran gagasan. Sementara di lapisan bawah, masyarakat umum menjadi penerima arus informasi yang sering kali diterima tanpa penyaringan dan pemahaman yang matang.
Taktik yang digunakan semakin beragam dan canggih. Framing selektif serta narasi yang disusun untuk menimbulkan kecurigaan menjadi senjata utama. Dalam konteks kekinian, teori ini hidup dalam bentuk upaya adu domba antar golongan umat Islam, termasuk usaha memecah belah pesantren serta merusak kepercayaan terhadap Nahdlatul Ulama (NU). Dengan strategi komunikasi yang rapi, pihak-pihak tertentu di “puncak segitiga” menciptakan narasi provokatif seperti: “NU sudah keluar dari jalur ulama salaf,” “pesantren kini menjadi tempat penindasan,” atau “santri tidak lagi cinta ulama.” Narasi-narasi ini sengaja disebarkan untuk merusak citra lembaga Islam tradisional, diteruskan oleh tokoh muda dan pengguna media sosial di lapisan menengah, lalu menyebar luas ke masyarakat bawah.
Dampaknya sangat nyata NU dan pesantren sebagai benteng Islam moderat berisiko kehilangan kepercayaan publik jika narasi negatif tersebut dibiarkan tanpa tanggapan yang terarah. Maka pada titik ini, bukan hanya perbedaan pandangan yang muncul, tetapi juga pengendalian kesadaran umat oleh pihak-pihak yang diuntungkan secara politik dan ideologis. Saat umat Islam sibuk saling mencurigai, menghina, dan menuding satu sama lain, kelompok di puncak segitiga justru menikmati keuntungan kekuasaan dan dukungan. Inilah bentuk modern dari politik pecah belah yang kini dikemas dengan label keagamaan.
Sejak dahulu, NU dan pesantren menjadi benteng Islam rahmatan lil ‘alamin penjaga keseimbangan antara agama dan kebangsaan. Namun kini, keduanya kerap menjadi sasaran framing dan fitnah yang dirancang untuk melemahkan wibawanya di mata umat. Karena itu, penting bagi warga pesantren, santri, dan seluruh umat Islam untuk tidak mudah terprovokasi serta membiasakan diri melakukan tabayyun sebelum mempercayai setiap isu yang beredar. Literasi digital di lingkungan pesantren juga perlu diperkuat agar santri tidak hanya pandai membaca kitab, tetapi juga cerdas membaca arus informasi dan mampu melawan narasi destruktif dengan ilmu dan akhlak.
Serangan terhadap NU dan pesantren hari ini bukan sekadar ejekan atau debat di kolom komentar media sosial, melainkan bagian dari skenario besar yang terencana. Musuh tidak selalu datang dengan pedang, melainkan melalui pesan berantai, framing, dan opini yang menyesatkan.
Terakhir sebagai penegasan, Persatuan umat Islam adalah benteng terakhir menghadapi segala bentuk adu domba. Selama umat berpegang pada nilai wasathiyah (jalan tengah), menjunjung akhlak, serta menghormati perbedaan, maka segala upaya yang ingin meruntuhkan NU dan pesantren akan berakhir sia-sia. Kekuatan sejati umat tidak terletak pada banyaknya pengikut di dunia maya, melainkan pada kejernihan hati dan kesatuan langkah dalam menjaga marwah agama dan bangsa. ***