Persatuan umat Islam bukan sekadar slogan atau seruan omong kosong, melainkan fondasi utama dalam menjaga keutuhan bangsa dan kemuliaan agama.
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU), persatuan umat merupakan manifestasi nyata dari ajaran ukhuwwah—baik ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), maupun ukhuwwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Ketiganya harus berjalan beriringan agar umat Islam tidak mudah terpecah oleh narasi adu domba yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang haus kekuasaan dan pengaruh.
NU selalu menegaskan pentingnya nilai wasathiyah sebagai jalan tengah yang menyeimbangkan antara teks dan konteks, antara akidah dan akhlak, antara agama dan kebangsaan. Prinsip ini menjadi pondasi kuat agar umat tidak mudah tergiring oleh provokasi yang mengatasnamakan kesalehan, tetapi justru menimbulkan perpecahan. Islam versi NU bukan Islam yang keras kepala, bukan pula Islam yang membenarkan segalanya demi kepentingan golongan, melainkan Islam yang menebar kesejukan, ketentraman, kedamaian, dan kebersamaan.
Dalam konteks digital hari ini, semangat “wasathiyah” harus diterjemahkan dalam sikap bijak bermedia. Jangan mudah mempercayai setiap informasi yang menjelekkan ulama, merendahkan pesantren, atau merusak citra organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama.
Sebab, fitnah yang dibiarkan akan tumbuh menjadi perpecahan, sementara klarifikasi (tabayyun) adalah cahaya yang menjaga umat dari gelapnya prasangka.
Persatuan umat Islam adalah benteng terakhir melawan segala bentuk adu domba yang dikemas dengan wajah religius. Selama umat berpegang pada nilai wasathiyah, menjunjung tinggi akhlak, dan menghormati perbedaan, maka segala upaya untuk meruntuhkan NU dan pesantren akan berakhir sia-sia.
Kekuatan sejati umat bukanlah pada banyaknya pengikut di dunia maya, melainkan pada kejernihan hati, keluhuran budi, dan kesatuan langkah dalam menjaga marwah agama serta martabat bangsa.
Seperti pesan sabda Rosulullah SAW Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).
Cinta tanah air adalah tentang pentingnya manusia memiliki tempat tinggal yang memberinya kenyamanan dan perlindungan. Cinta tanah air juga tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga siapa pun yang berusaha menjajah atau mengusir dari tanah tersebut, Islam mengajarkan untuk melakukan pembelaan. Ketika kondisi aman, mencintai tanah air adalah sebuah hal wajar, bahkan sangat dianjurkan selain itu juga mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Dan menjaga persatuan umat adalah bagian dari menjaga keimanan itu sendiri.
Maka terakhir sebagai standing point hal yang ini saya katakan: Menjaga persatuan umat Islam adalah wujud nyata dari keimanan dan kecintaan terhadap tanah air. Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, persatuan tidak hanya menjadi kebutuhan sosial, tetapi juga kewajiban moral dan spiritual. Dengan berpegang pada nilai wasathiyah, meneladani akhlak Rasulullah SAW, serta mempercayai peran ulama dan pesantren sebagai penjaga keseimbangan umat, kita mampu menghadapi setiap upaya perpecahan yang disamarkan atas nama agama. Karena hanya dengan persatuan, Islam akan tetap kokoh, dan Indonesia akan tetap damai. ***